Syahdan tersebutlah seorang pemimpin dusun yang bijaksana. Ki Rangga namanya. Wajahnya cerah memancarkan kearifan dan kebersihan hatinya. Tutur sapanya lembut. Di bawah pengayoman ki Rangga, penduduk dusun itu, Dusun Banjarsawah hidup makmur, sejahtera dan damai. Sawah ladang menghijau. Hasil panen selalu melimpah. Ki Rangga memiliki dua orang istri yang masing-masing memberikannya dua anak laki-laki yang usianya tidak terpaut jauh, hanya dalam hitungan bulan. Dari istri pertama, ia beri nama sama dengan namanya, Rangga. Dalam bahasa Kawi Rangga bermakna bunga, sedangkan dalam bahasa Sansekerta berarti pangkat pamong praja. Ki Rangga memang berharap anak bungsunya kelak menjadi pemimpin yang menerbarkan semerbak wangi laksana bunga. Sedangkan dari istri keduanya, ia beri nama Jalu. Ki Rangga berkeinginan adik lain ibu Rangga ini kelak tumbuh menjadi laki-laki yang kuat dan tajam seperti taji ayam jago sehingga mampu memberantas kejahatan. Di suatu malam, setelah mengajar beberapa jurus silat di halaman rumahnya yang berdinding anyaman bambu, Ki Rangga menyuruh duduk dua remaja belia putra-putranya itu di hadapannya. “Rangga, dan kau Jalu, kalian sudah beranjak dewasa. Ilmu yang aku miliki telah aku berikan semua, dan kalian sudah menguasainya dengan baik. Untuk itu, sudah saatnya kalian mencari ilmu di tempat lain. Carilah guru di mana naluri kalian akan menuntunnya. Belajarlah sungguh-sungguh dan seraplah ilmu sebanyak mungkin”. Ucap Ki Rangga beberapa saat setelah mereka bertiga duduk di bawah keremangan langit malam. “Apa itu artinya bapak mengusir, kami?”, tanya Rangga yang sedikit kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan bapaknya yang sudah mulai renta dimakan usia. Sementara Jalu, adiknya diam menunduk saja. Entah apa yang berputar di benaknya. “Bukan begitu anakku…, bapak sudah tua dan sudah tidak ada ilmu bapak yang lebih tinggi lagi. Kalianlah yang akan menggantikan bapak kelak”, Ki Rangga menjelaskan alasannya. “Justru itu, bapak, bapak sudah sepuh. Kami ingin menemani bapak dan merawat bapak. Bapak telah memelihara kami dengan kucuran kasih sayang hingga tumbuh besar seperti saat ini. Kini saatnya kami membalas semua itu sebagai bakti kami”, akhirnya Jalu memberanikan diri mengutarakan pendapatnya. “he…he…he…”, Ki Rangga terkekeh. Tampak giginya yang sudah mulai ompong. Kemudian lanjutnya, “Aku paham maksudmu. Tapi ketahuilah, di masa mendatang tantangan akan semakin berat. Dusun ini butuh pemimpin yang tangguh dan berwibawa. Nah, agar tangguh dan berwibawa, orang itu harus banyak belajar dan harus banyak pengalaman. Maka dari itu, kalian harus berkelana menimba ilmu dan mencari pengalaman agar jiwa kalian tangguh dan mampu menjawab tantangan. Rangga dan Jalu beku dalam diam. Otaknya berpikir keras kenapa tiba-tiba bapak yang sangat dicintainya menginginkannya pergi. “Besok malam kalian harus sudah berangkat. Soal yang merawat bapak, biarlah murid-murid di padepokan ini yang akan merawat bapak”, ucap Ki Rangga melihat kedua anaknya diam tanpa kata. Rangga dan Jalu saling berpandangan. Lalu kembali mereka menunduk. Sebenarnya bagi mereka berdua berkelana adalah sesuatu yang mereka impi-impikan. Tapi tidak untuk saat ini, di mana sang bapak sudah semakin tua dan tentu saja sebagai anaknya mereka berdua merasa harus selalu berada di sampingnya. “Ke mana dan kepada siapa kami harus berguru, bapak?”, tanya Jalu dengan suara berat setelah berupaya membebaskan lidahnya dari rasa kelu. “Ikutilah nalurimu dan bapak berharap kalian berdua mengambil jalan berbeda untuk mencari guru yang berbeda pula. Bapak ingin sebelum kembali ke dusun ini lagi kalian sudah ditempa pengalaman menghadapi segala persoalan sendiri-sendiri”, harap Ki Rangga. “Berapa lama kami harus meninggalkan dusun ini?”, timpal Rangga kemudian. Ki Rangga tampak berpikir sejenak. Pandangannya menembus gelap ke arah hutan di selatan dusun. Keningnya berkerut, pikirannya sibuk menghitung berapa lama kira-kira kedua putranya layak kembali ke dusun dan benar-benar siap menggantikannya. “Bapak kira enam puluh purnama waktu yang cukup bagi kalian”, ujarnya sejurus kemudian. Lalu Ki Rangga melanjutkan, “Sekarang beristirahatlah”. Mereka pun bangkit dan berjalan menuju rumah yang mereka tinggali bertiga. Sebuah rumah bambu sederhana namun tampak sangat kokoh. Teras rumah hanya diterangi sebuah obor minyak jarak. Sesekali api obor bergerak liar seperti berusaha untuk tetap menyala di tengah tiupan angin. Pendar cahaya obor cukup menerangi halaman rumah Ki Rangga yang berdiri di atas sebuah bukit kecil. Malam terus merambat menghampar gelap dan kesunyian. Seperti biasa, dusun itu tampak tenang dan damai. Senandung binatang malam yang melantunkan syair menebarkan kesyahduan. Tapi bagi dua belia putra Ki Rangga tidaklah demikian. Malam itu sangat tidak menenteramkan hatinya. Kegelisahan merambati jiwanya karena esok harus pergi dan berpisah dengan bapak yang selama ini belum pernah sekalipun mereka alami. “Anak-anakku… berangkatlah kalian. Ingat, selama dalam perjalanan dan selama belajar janganlah mengganggu orang lain, apalagi sampai membuat ia sengsara. Bantulah orang lain yang sedang mengalami kesulitan. Hormati guru kalian sebagaimana kalian menghormati aku, bapakmu. Sebelum genap enam puluh purnama jangan sekali-kali engkau berdua kembali ke sini. Oh ya, jangan lupa bila nanti kalian telah menemukan guru, sampaikan salam bapak padanya. Hanya itu bekal yang bapak berikan kepadamu. Ingat-ingat dan laksanakanlah semua itu. Sekarang berangkatlah”, Ki Rangga memberikan wejangan kepada kedua putranya. Rambut keduanya dibelai bergantian. Diciumnya ubun-ubun mereka. Sebentar kemudian mereka bertiga berpelukan. Tanpa terdengar suara tangis, air mata mereka hangat mengaliri pipi. Rangga dan adiknya, Jalu, kemudian bergantian berlutut di hadapan bapaknya sebelum benar-benar berpisah. *** Seperti harapan bapaknya, Rangga dan Jalu memilih arah berbeda. Rangga bergerak ke arah barat daya. Ke sebuah tempat di kaki Mahameru. Sementara Jalu memilih berjalan ke selatan, ke Gunung Lamongan. Seperti memang telah ditunggu oleh masing-masing guru mereka, di sana mereka disambut hangat dan segera menjadi muridnya. Tak lupa salam Ki Rangga mereka sampaikan. Ternyata guru-guru mereka adalah saudara seperguruan Ki Rangga. Panembahan Semeru atau biasa disebut Mbah Meru, guru Rangga adalah kakak seperguruan Ki Rangga. Seorang pendekar pilih tanding penguasa kawasan Tengger. Sementara Jalu berguru kepada Lintang Kidul adik seperguruan Ki Rangga yang kesaktiannya sangat terkenal. Begitulah, mereka sangat disayang oleh masing-masing gurunya. Ilmu yang guru mereka berikan semua dilahap dengan mudah. Mereka berdua pun tumbuh menjadi pemuda yang tangkas memainkan berbagai macam senjata. Kesaktian mereka pun hampir menyamai gurunya. Jika terus berlatih, bukan tidak mungkin mereka bisa mengalahkan sang guru. Apalagi mereka masih sangat muda, sementara gurunya mulai beranjak tua. Meski mereka hanya sesekali keluar padepokan, nama mereka mulai dikenal kalangan rimba persilatan. Kini genaplah enam puluh purnama mereka berguru. Sebenarnya mereka lupa akan pesan bapaknya yang membolehkan mereka kembali ke Dusun Banjarsawah jika sudah tepat enam puluh purnama. Giatnya mereka dalam menuntut ilmu membuatnya lupa kampung halaman. Di suatu sore yang cerah, saat mentari mulai condong ke barat, Lintang Kidul mengajak Jalu ke sebuah bukit. Mereka duduk di sebuah batu sebesar rumah yang permukaannya datar. “Jalu, lihatlah ke sana. Tahukah kamu tempat itu?”, Langit Kidul bertanya kepada pemuda di hadapannya. Telunjuknya mengarah ke suatu tempat. “Tidak guru. Tapi sepertinya tempat itu adalah daerah asal saya. Ada apa, guru?”, sahut Jalu balik bertanya. “Kau bisa mengenali bukit itu?”, Langit Kidul kembali mengarahkan telunjuknya. “Ya, itu bukit Pucuk Goang. Tak jauh dari sana adalah tempat tinggal saya”, jelas Jalu. Ia begitu mudah mengenali puncak bukit yang salah satu sisinya seperti berlubang. “Perhatikan di bawahnya. Menurutmu adakah yang aneh?”, kembali guru Jalu bertanya. “Tidak ada, selain hamparan kecoklatan, guru”, Jawab Jalu. Hatinya diliputi rasa penasaran apakah gerangan yang terjadi. “Itu tempat tinggalmu. Saat ini Dusun Banjarsawah sedang mengalami kekeringan. Tak ada sungai yang mengalirkan air. Penduduk di sana sangat menderita. Besok sebelum Matahari terbit pulanglah. Bantulah penduduk di sana”, terang Langit Kidul. “Baik guru. Besok saya akan ke sana, atau bila guru ijinkan saya bisa ke sana malam ini juga”, jawab Jalu. Hatinya dilambari kekhawatiran terhadap nasib penduduk dusun, dan tentu saja bapaknya. Langit kidul hanya menjawab dengan gelengan kepala. Sebentar kemudian keduanya menuruni bukit itu, kembali ke padepokan. Wajah Jalu menyiratkan kesedihan yang membuat teman-teman seperguruannya bertanya-tanya dalam hati. Mereka tidak berani bertanya langsung apa yang membuatnya nampak begitu sedih. Jalu dikenal sebagai pemuda yang berwatak keras. Tak seorang pun berani berbuat sesuatu yang bisa memancing kemarahannya. Sementara itu, ketika sang malam telah melewati puncaknya, nun jauh di sana Rangga bersiap-siap pulang ke kampung halamannya. “Rangga, tegarkan hatimu. Di sana nanti engkau akan mengalami hal yang sangat menyedihkan. Aku percaya kamu mampu mengatasi semuanya di sana. Termasuk adikmu sendiri. Bimbinglah ia dengan penuh kesabaran. Hanya dengan kesabaran hatinya akan luluh”, pesan Mbah Meru menjelang melepas kepergian Rangga. Rangga pun memacu kudanya menembus kegelapan belantara di malam itu. Keluar-masuk hutan, naik-turun bukit dan lereng gunung. Di pikirannya berkecamuk apa gerangan yang terjadi hingga gurunya berpesan demikian. Apakah adiknya membuat ulah di sana? Pagi-pagi sekali Rangga sudah sampai di Dusun Banjarsawah. Pemandangan aneh tersaji di depannya. Sawah ladang kering kerontang. Tanah yang dipijaknya retak-retak seperti sudah bertahun-tahun tidak tersentuh air. Sosok-sosok bertubuh kurus hanya mengintipnya dari balik pintu. Sesekali terdengar rengek anak kecil yang meminta makan. Tiba-tiba Rangga teringat bapaknya. Segera dihelanya kuda ke arah bukit kecil. Halaman rumahnya yang dulu nampak bersih kini kotor penuh dedaunan dan ranting kering. Rumahnya miring seperti hendak roboh. Segera ia turun dari kudanya. Baru selangkah, terdengar sebuah panggilan kepadanya. “Kak Rangga…!!!” Seorang pemuda bertubuh kekar juga turun dari kudanya yang ternyata adalah Jalu, adiknya. Mereka pun berpelukan dan segera masuk ke rumah mencari Ki Rangga. Alangkah kagetnya mereka berdua mendapati Ki Rangga yang terbaring lemah di atas dipan. Napasnya seperti tersengal-sengal. “Bapak….”, jerit mereka berdua dan menghambur ke sisi dipan. Dipeluknya Ki Rangga yang dirasanya sangat kurus erat-erat. Tangis mereka pun pecah. “Sudahlah… Bapak sudah tua. Sudah wajar. Sebenarnya Guru kalian beberapa bulan yang lalu menemuiku di Pucuk Gowang. Mereka akan mengembalikan kalian ke sini. Tapi aku larang, agar kalian bisa tuntas belajar kepadanya”, sambil terbatuk-batuk Ki Rangga menjelaskan. “Kenapa dusun kita bisa kering gersang seperti ini, bapak? Apa yang terjadi?”, dengan nada heran Rangga bertanya. “Ada segerombolan orang yang telah menutup sumber-sumber air karena seluruh penduduk menolak membayar upeti. Sungai-sungai mereka timbun sehingga air tak mampu mengalirinya. Harta benda penduduk pun dirampas, jelas Ki Rangga. “Apa? Kurang ajar!!! Akan kuhabisi orang-orang itu. Tunjukkan bapak, di mana mereka sekarang”, langsung saja Jalu terbakar amarah. Sementara Rangga, kakaknya geleng-geleng kepala. “Sabar Jalu. Mereka itu pengecut, datang hanya saat kita lengah. Mereka tak kan berani kalau menampakkan diri bila tahu lawannya tangguh. Panembahan Semeru, guru Rangga pernah bilang soal itu”, terang Ki Rangga berusaha menenangkan putra keduanya. “Terus, cara menghentikannya gimana, bapak?”, tanya Rangga. “eemmmmm….. Aku yakin, guru-guru kalian sudah banyak mengajarkan berbagai ilmu. Tunjukkan hasil belajar kalian di hadapan bapak….” “Saya tunggu kedatangan para pengacau itu, saya habisi mereka….”, potong Jalu merasa mendapat angin untuk mencoba ilmunya. “Diam Jalu! Aku belum selesai bicara. Maksudku justru kalianlah yang bertarung. Tunjukkan ilmu yg sudah kalian dapat di hadapan bapak. Pertarungan ilmu-ilmu kalian tentu akan hebat dan akan memancing kedatangan mereka. Aku Yakin, nyali mereka akan ciut begitu mengetahui kehebatan kalian dan tidak berani lagi datang kemari”, tandas Ki Rangga. Rangga dan Jalu saling pandang. Selanjutnya mereka papah bapaknya yg sepuh itu ke luar, ke beranda rumah. Didudukkannya sang bapak di sebuah kursi. “Ayo Kak rangga, kita mulai”, ajak Jalu kepada kakaknya. Telunjuknya mengarah ke tengah-tengah halaman. Pertarungan pun dimulai. Gerakan-gerakan lincah tubuh mereka dalam menyerang, menghindar dan menangkis membuat sang bapak berdecak kagum. Teriakan-teriakan mereka segera saja mengundang perhatian penduduk dusun. Berbondong-bondong mereka berdatangan. Rasa lapar yang mendera keluarganya beberapa hari ini seolah mereka lupakan. “Wah itu si rangga dan Jalu. Kenapa mereka berkelahi?”, salah satu penduduk berbisik kepada teman di sebelahnya. “Jangan-jangan Ki Rangga sengaja mengadu mereka. Nanti pemenangnya akan ditugaskan membasmi gerombolan pengacau sebagai syarat untuk menggantikan kedudukan Ki Rangga di dusun ini”, yang lain menimpali. “Ck…ck…ck… mereka hebat. Gerakannya begitu cepat. Mataku sulit mengikuti gerakannya. Aku seperti hanya melihat bayangan yg berkelbat cepat”, ucap seorang pemuda terkagum-kagum. Semakin lama gerakan mereka semakin cepat. Tapi tak satupun pukulan yang mengenai sasaran. Masing-masing dari mereka seperti memukul angin. Berikutnya mereka berhenti dan masing-masing mengambil sebilah pedang. Pertarungan dilanjutkan kembali dengan memakai senjata. Kilat pedang mereka berkilauan diterpa sinar mentari pagi. Saling sabet dan tangkis pun kemudian berlangsung seru. Desau lentingan pedang dan dentingnya ketika saling beradu silih berganti dengan lengking pekik mereka. Sampai tengah hari Rangga dan Jalu bertarung, tapi tak seorang pun yang berhasil melukai lawan. Kemudian Ki Rangga menepukkan tangannya. “Berhenti dulu… istirahat, nanti lanjutkan lagi”, teriak Ki Rangga parau. Jalu dan Rangga pun menghentikan pertarungan. Peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Kaduanya tampak kelelahan. Setelah menyarungkan pedang, keduanya berjalan beriringan menghapiri bapaknya yang disekelilingnya sudah berkumpul penduduk dusun. Sambil beristirahat, mereka bercengkerama dengan para penduduk dusun itu. Begitu matahari condong ke barat, Ki Rangga memberikan isyarat kepada kedua putranya untuk kembali melanjutkan pertarungan. Segera keduanya kembali ke tempat laga. Kali ini mereka kembali tanpa senjata. Mereka akan mengadu kesaktian yang mereka dapatkan dari Langit Kidul dan Mbah Meru. Jantung sebagian penduduk dusun berdebar-debar khawatir adu kesaktian itu akan saling menghancurkan keduanya. Baik Rangga maupun Jalu mengatupkan kedua tangannya seperti merapal mantra. Perlahan terdengar desis dari mulut Rangga. Kemudian Rangga memekik keras. “Tapak Agni…hiyyyyaaaaaaaa……” Tangan Rangga mengarah ke adiknya. Tiba-tiba cuaca terasa panas. Semburan panas dari tangan rangga mengarah tepat ke tubuh adiknya. Tampak tubuh Jalu memerah seperti bara dan mengeluarkan asap pekat. Dedaunan dan ranting kering di sekitar Jalu terbakar. Tetapi Jalu tetap bergeming, berdiri sempurna. Kedua tangannya menyilang. Sejurus kemudian dia entakkan kakinya dan berteriak keras, “Salju atap langiiiitttt…”. Wussss…… Mendadak udara sejuk berembus dan perlahan menjadi dingin. Udara dingin membuat Rangga yang terus mengarahkan Tapak Agni menggigil. Udara dingin di bawah terik sinar mentari itu seperti menusuk tulangnya. Sekuat tenaga Rangga bertahan mengerahkan Tapak Agni untuk mengusir rasa dingin itu. Tiba-tiba keduanya terjengkang ke belakang. Tubuh Jalu berkeringat deras seperti sedang kepanasan sedangkan Rangga pucat dan menggigil. Kemudian cuaca berangsur-angsur menghangat kembali. Merka pun kembali bangkit berdiri. Melihat kedua calon pemimpin mereka baik-baik saja, penduduk bersorak sorai. Sorakannya terdengar hingga ke kejauhan. Tak ayal hal itu memancing gerombolan pengacau untuk datang, seperti yang diduga Ki Rangga sebelumnya. Kedua putra Ki Rangga itu kemudian bersiap mengerahkan kesaktian berikutnya. Dengan sikap berdiri Jalu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Lalu digerakkannya ke depan, kemudian menyilang didadanya. Berkali-kali itu dilakukan seperti sedang menghimpun kekuatan. Lamat-lamat terdengar gemuruh angin, semakin lama semakin jelas. Ki Rangga yang paham soal itu segera memerintahkan seseorang yang berada di sampingnya untuk menghalau penduduk dusun yang sedang menonton agar menjauh dari Rangga dan Jalu. ‘hmmm Jalu hendak mengeluarkan ilmu himpunan angin tujuh musim, Bayubajra!’. Benar-benar hebat. Saya saja tidak telaten mempelajari jurus ini’, batin Ki Rangga. Desau angin yang awalnya hanya terdengar, kini mulai terasa embusannya. Desaunya pun berganti gemuruh. Angin seperti datang dari arah belakang Jalu dan semakin kuat didorong tenaganya. Rangga yang telah bersiap menyambung serangan adiknya mengambil posisi duduk bersila. Kedua tangannya mengatup di depan dadanya. “Bayuuuuuubajra……!!!!”, tubuh Jalu melenting tinggi setinggi pohon bambu di belakang rumahnya yang kini meranggas nyaris mati. Angin berembus kuat sekali seperti hendak menjungkalkan Rangga. Sementara tubuh Jalu melayang terbang sambil terus mengerahkan angin menyerang Rangga. Sejurus kemudian terdengar lengking tinggi Rangga, “hiyyaaaaaa….. Angiiiin……..Gendiiiiiing…..”, Rupanya Rangga mengeluarkan jurus Angin Gending untuk menangkis serangan Jalu. Gemuruh angin semakin keras terdengar. Dedaunan beterbangan tak tentu arah. Benturan angin begitu kuat dari dua arah berlawanan. Mendadak tubuh Jalu jatuh. Segera Ia bangkit dan kembali menyerang kakaknya. Keduanya nampak seperti dahan pohon yang bergoyang tertiup angin. Benturan angin yang semakin keras membuat dua kakak beradik itu terdorong beberapa depa ke belakang. Tepat di tengah keduanya, angin yang mereka kerahkan bertemu. Kedua ujung angin seperti saling membelit dan membentuk pusaran. Debu pun berhamburan di ujung belitan angin yang kini membentuk pusaran. Semakin lama pusaran semakin besar dan kuat hingga membentuk ceruk di permukaan tanah. Lama kelamaan ceruk tanah semakin lebar dan dalam hingga kemudian bukan hanya debu yang keluar dari pusaran angin, melainkan juga percikan air. Kedua anak muda itu terus mengerahkan kemampuannya hingga air yang keluar semakin banyak tak ubahnya guyuran hujan. Penduduk pun berteriak senang merasakan segarnya hujan akibat pusaran angin meskipun airnya bercampur tanah. Maklum, sudah sekian lama mereka merindukan hujan. Hari menjelang sore. Rangga dan Jalu sudah tampak letih dan bersimpuh menunduk. Mata mereka memejam. Angin pun sudah tidak terasa berembus lagi. Namun air akibat pusaran angin keduanya terus memancar menggenangi ceruk tanah. Rangga dan Jalu berjalan sempoyongan mendekati kubangan air. Di sisi kubangan besar itu mereka bertemu, saling pandang dan saling peluk. Selanjutnya mereka duduk di tepi kubangan, dan tangannya meraih air. Diusapkannya ke wajah masing-masing. Seketika kesegaran merambati tubuh mereka berdua. Penduduk dusun berlarian mendekati mereka dan ramai-ramai ke kubangan yang airnya terus memancar. “Ranggaaaaaa….. Jaluuuuu…..”, teriak mereka bersahutan. Wajah penduduk memancarkan kegembiraan karena selama beberapa bulan dilanda kekeringan. Sawah dan ladang mereka akan segera dapat mereka jadikan gantungan hidup lagi.
3 komentar:
Indah juga ya gan,, pemandangan alam di sana.,
Ini dekat lokasinya dengan tempat tinggal saya mas.
Kapan-kapan saya mau maen maen ke probolinggo, ijin save dulu ya.
Posting Komentar